Imam Syafi'i |
Khabaruna, Prenduan - Berbicara tentang Imam Syafi’i pastinya semua orang mengenal siapa beliau. Beliau adalah salah satu dari 4 imam madzhab Fiqih dengan pengikut terbanyak di dalam dunia Islam. Nama aslinya adalah Muhammad bin Idris As-Syafi’i, dilahirkan oleh ibu yang bernama Fatimah binti Ubaidillah Azdiyah di Mekah sedangkan bapaknya meninggal ketika beliau masih dalam kandungan.
Ketika Imam Syafi’i masih belajar di Mekah, guru dari Imam Syafi’i menyuruh beliau untuk berguru dan mencari ilmu ke Madinah. Atas perintah gurunya tersebut kemudian Imam Syafi’i berpamitan kepada ibunya untuk mencari ilmu ke Madinah.
Mendengar hal itu ibu dari Imam Syafi’i kemudian berkata: “Pergilah engkau menuntut ilmu di jalan Allah, sampai ketemu nanti di akhirat”. Pernyataan ini juga sekaligus larangan bagi Imam Syafi’i untuk pulang sebelum mendapatkan ilmu dan menjadi orang yang bermanfaat.
Di Madinah beliau berguru kepada Imam Malik, imam dari aliran madzhab Maliki (salah satu dari 4 madzhab yang terkenal) dan kemudian menjadi murid kesayangannya. Namun beliau tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikan pendidikannya berguru kepada Imam Malik.
Hal ini kemudian membuat beliau melanjutkan pendidikannya mencari ilmu ke Iraq. Di Iraq beliau belajar kepada murid-murid Imam Abu Hanifah. Meskipun sudah banyak menyerap ilmu di Iraq, beliau belum ingin pulang karena belum ada panggilan dari ibundanya di Mekah.
Di Iraq Imam Syafi'i berkembang menjadi murid yang terkenal sangat pintar dan tercerdas. Sehingga dalam waktu singkat ia sudah diminta untuk mengajar, dan tak butuh waktu lama, ribuan murid pun berbondong-bondong datang untuk berguru padanya. Hingga ia pun menjadi ulama besar yang terkenal ke seluruh penjuru Iraq hingga Hijaz.
Sementara itu ibu dari Imam Syafi’i setiap tahunnya melakukan ibadah haji, hingga suatu ketika sang ibu mengikuti pengajian dari salah seorang ulama yang sering menyebut-nyebut nama Muhammad bin Idris As-Syafi’i atau Imam Syafi’i sebagai rujukan.
Mendengar ulama tersebut sering menyebut nama sang anak, maka setelah pengajian ibu Imam Syafi’i datang menjumpai ulama tersebut dan menanyakan siapa yang dia maksud Muhammad bin Idris As-Syafi’i. Ulama tersebut kemudian menjawabnya bahwa yang dimaksud Muhammad bin Idris As-Syafi’i adalah gurunya dia di Iraq.
Kemudian sang ibu dengan penasaran menanyakan lagi kepada sang ulama: Muhammad bin Idris As-Syafi'i yang mana yang maksud?. Kemudian ulama tersebut menjawab bahwa ia merupakan ulama besar yang berasal dari kota Mekah.
Mendengar hal itu, sang Ibu pun terkejut karena mengetahui bahwa guru ulama tersebut merupakan anaknya sendiri. Kemudian sang ulama tersebut menanyakan kepada ibu Imam Syafi’i apakah hendak menitip pesan untuk Imam Syafi’i? Sang ibu pun menjawab bahwa ia memperbolehkan sang anak untuk pulang ke rumahnya.
Setelah sang ulama sampai di Iraq ia langsung menyampaikan pesan tersebut kepada sang guru. Imam syafi'i yang mendengar kabar tersebut langsung bergegas dan bersiap untuk pulang ke Mekah. Mendengar kabar sang imam ingin pulang penduduk iraq sangat sedih, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Ketika beliau ingin pulang, masyarakat serta murid-muridnya pun telah menyiapkan bekal untuk beliau. Karena beliau telah menjadi ulama besar di Iraq beliau pun menerima bekal yang sangat banyak, beliau menerima ratusan ekor unta dari masyarakat dan murid-muridnya di sana.
Sesampainya beliau di pinggir kota mekah, beliau tidak ingin mengejutkan ibunya, beliaupun memerintahkan sang murid untuk me memberitahukan sang ibu terlebih dahulu bahwa anaknya telah berada di pinggir kota Mekah.
Sang ibu bertanya apa yang dibawa oleh Imam Syafi’i? sang murid pun menjawab dengan bangga bahwa sang imam membawa ratusan ekor unta dan harta lainnya. Mendengar itu sang ibu pun sangat marah dan ia tidak memperbolehkan sang anak untuk pulang.
Dengan rasa bersalahnya sang murid kembali menjumpai Imam Syafi’i dan menyampaikan bahwa sang ibu marah dan tidak memperbolehkannya pulang.
Mendengar berita itu beliau sangat ketakutan dan menyuruh sang murid untuk mengumpulkan seluruh orang-orang miskin di kota Mekah, kemudian ia memberikan seluruh harta yang ia bawa hingga yang tersisa hanya kitab-kitab dan ilmunya.
Kemudian beliau memerintahkan muridnya untuk memberitahu sang ibu tentang hal tersebut. Baru setelah mendengar itu sang ibu pun memperbolehkan beliau untuk pulang.
Dari kisah perjalanan Imam Syafi’i dalam mencari ilmu tersebut banyak hal yang bisa kita teladani. Diantaranya adalah:
1.Sikap orang tua harus memiliki kerelaan yang sangat tinggi untuk melepas anaknya untuk mencari ilmu dan tidak mengganggu pikiran anaknya tersebut dengan urusan di rumah. Hal ini tercermin dalam pernyataan ibu dari Imam Syafi’i yang melepas putranya dengan pernyataan: “ Sampai ketemu di akhirat”. Jadi selama Imam Syafi’i mencari ilmu beliau tidak pernah dipanggil pulang untuk acara keluarga.
2.Tidak boleh seorang anak pulang dari tempat mencari ilmu kecuali atas sepengatuhan orang tua. hal ini tercermin dari sikap Imam Syafi’i yang menghentikan perjalannya ketika pulang sebelum tiba di rumahnya dan mengutus muridnya untuk terlebih dahulu memberitahu sang ibu akan kedatangan beliau.
3.Kitab atau buku merupakan kekayaan yang harus dimiliki oleh pencari ilmu atau santri. Buku memilki nilai yang lebih berharga daripada harta benda. Hal ini tercermin dari sikap ibu dari Imam Syafi’i yang melarang beliau pulang gara-gara jawaban muridnya bahwa Imam Syafi’i datang membawa ratusan unta dan harta benda lainnya, dan baru mengizinkan beliau ketika yang dibawa hanya terisisa buku atau kitab-kitab.
Referensi: infakyatim.id, wikipedia, dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar