Kamis, 24 Mei 2018

Ketika Anak Kristen Nyantri di Al-Amien Prenduan, Begini Hasilnya...


Khabaruna, Prenduan – Al-Amien Prenduan sebagaimana semboyannya “Berdiri di atas dan untuk semua golongan”, pernah memiliki santri yang berasal dari agama dan keluarga Kristen namun ingin belajar agama Islam.


Sebagaimana diterbitkan dalam WARKAT (Warta Singkat) Al-Amien Prenduan edisi 1438-1439 H/2017-2018 M hal. 161 diceritakanlah bahwasanya seorang anak dari keluarga Kristen dan masih belum masuk Islam berkeinginan untuk belajar Islam di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Berikut kisahnya sebagaimana yang dimuat di WARKAT dan ditulis sendiri oleh santri yang bersangkutan tanpa ubahan redaksi.

“Awalnya saya tidak pernah tahu apalagi mengenal apa dan bagaimana Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Waktu itu saya datang ke pesantren paling besar di ujung pulau Madura itu tanpa ada yang mendampingi, sebab di sekitar kota saya tidak ada yang mempromosikan lembaga ini.

“Waktu tahun 1999 selepas lulus SMP di Pontianak, saya termasuk anak yang cerdas, lantas setelah menerima ijazah, langsung saja muncul semangat untuk melanjutkan studi di sekolah yang terdapat di dalamnya ilmu agama dan ilmu umum secara secara berdampingan. Impian itu begitu besar, padahal waktu itu saya belum bersyahadat dan berstatus non-muslim dan informasi yang utuh tentang Islam belum saya dapatkan.

“Kemudian dengan modal nekat saya berangkat ke Jawa Timur naik kapal laut, saat di kapal menuju Surabaya itu banyak orang bertanya, “adik mau ke mana dan asli mana? Saya jawab saya dari Pontianak, keluarga saya Kristen semua, tapi saya ingin sekolah Islam yang diajarkan di dalamnya tentang keislaman tetapi juga ilmu umum atau sosialnya. Lalu orang tersebut mengatakan: “ada dik... ya itu Al-Amien!” saya bertanya Al-Amien itu di mana? Orang itu menjawab lagi Al-Amien itu di ujung Timur Madura. Mendengar jawaan itu saya bingung, ragu dan takut, karena saya orang Dayak jika ke Madura nantinya akan diunuh oleh orang Madura.

“Singkat cerita orang tersebut memberi tulisan yang berisi alamat Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Untungnya turun dari kapal saya langsung naik bis jurusan pondok, orang asing itu ternyata sudah menitip saya ke sopir bis jurusan Sumenep. “Tolong anak yang putih itu turunkan ke ke pondok putra Al-Amien Prenduan Sumenep Madura ya pak!”. Saya dengar dia berpesan. Sampai di depan pintu gerbang pondok saya bingung mau ke mana? Dan saya akhirnya memberanikan untuk bertanya, maka setelah itu saya melihat ada tulisan tempat pendaftaran santri baru. Tempat penerimaan santri baru itu dulu manual, mungkin sekarang tempat itu sudah menjadi tempat apel pagi sebelum masuk kelas, banyak pohon kelapa dan mangga di sekelilingnya.

“Di kantor pendaftaran dan penerimaan santri baru saya kebingungan karena dites ngaji dan baca Al-Qur’an. Dan akhirnya saya memohon kepada panitia untuk diantarkan saya bertemu langsung sama Kiai Muhammad Idris Jauhari. Lalu saya ketemu dengan pengasuh dan saya ceritakan kalau saya orang Kristen dan keluarga semuanya Kristen dan saat ini saya ingin belajar agama Islam. Pada akhirnya oleh Kiai Idris dan Kiai Tidjani saya diterima menjadi santri (mengubah nama Andreas menjadi Muhammad Damanhuri). Lucunya waktu itu saya hanya membawa pakaian satu stell saja, tas sekolah dan ijazah. Enam bulan pertama saya saya di Syu’bah (kelas persiapan) kemudian mengikuti semua kegiatan di pondok dan menyetor hafalan. Di kelas satu saya enjoy saja nyantri di pondok ini, dan sampai kelas 3 saya mulai suka ikut organisasi yang ada di pondok. Saya pun sangat ingat ketika saya dipecut oleh Ust. Harun Ar-Rasyid untuk menjadi santri yang baik, itulah awal motivasi di pondok.

“Dan selanjutnya saya terlibat di beberapa organisasi santri diantaranya Dewan Pertimbangan Santri (DPS), saya mendirikan dan menjadi ketua Retorika of Alief, waktu itu Club Dakwah dan orator terfavorit adalah Alief dan IPRA, tapi Alief menjadi Club Orator yang sangat diminati para santri, dan bahkan saya ingat ketika Kiai Idris Djauhari langsung memantau dan melihat Club Alief beraksi saat Muhadharah dan latihan pidato (al-tadrib ala al-khithabah). Kemudian saya membuka Club Alief cabang Ma’had Tahfidh Al-Qur’an Al-Amien (MTA), dan waktu itu juga pondok putri meminta untuk dibuka tetapi saya keburu berhenti. Saya juga pernah di Cimande (Kelompok Pancak Silat).

“Tatkala saya ada masalah, selalu saya sampaikan kepada Kiai Idris dan Kiai Tidjani memohon arahan dan solusi, makanya sesaat sebelum berhenti dari pondok saya minta idzin dan beliau meminta saya untuk i’tikaf selama 1 minggu di masjid lantai dua itu. Saat saya berpamitan, beliau memberi saya bacaan dan tulisan yang masih saya simpan sampai sekarang. Demi Allah beliau berpesan kepada saya dan sampai saat ini masih saya ingat dengan betul. Pertama, beliau mengatakan, “kamu adalah bagian dari kami, pondok ini selalu terbuka untuk kamu, kapan saja kamu mau masuk dan kembali ke pondok, maka pondok ini terbuka lebar. Kedua, kamu harus membawa nama pondok ini sampai di manapun. Ketiga, suatu saat kamu akan mengerti dan paham makna dan artinya dengan tulisan ini, semoga kamu tidak lupa akan pondok ini. Keempat, nanti kalau kamu keluar dari pondok langsung saja keluar pagar dan jangan menoleh ke belakang siapapun yang memanggil.” Semua pesan beliau saya turuti hingga akhirnya sampai ke Pontianak lagi.

“Hingga Kiai Tidjani Djauhari dan Kiai Idris Djauhari wafat saya selalu menyambangi pondok meskipun hanya melihat kuburan beliau. Sampai sekarangpun kebanggaan saya atas pondok tetap tinggi meskipun saya juga pernah di Gontor hanya 6 bulan untuk sekedar belajar agama. Bagi saya Al-Amien adalah satu-satunya pondok yang mengubah arah hidup saya selanjutnya. Dari non-muslim menjadi muslim yang punya kepribadian. Alhamdulillah hampir setiap tahun saya selalu membawa santri baru untuk almamater ini. Sekarang saya sudah mempunyai 3 pondok pesantren: 2 lembaga umum dan 1 tahfidz. Sekarang sebagai bentuk pengabdian dan kader, saya masukkan anak kandung ke pondok yang saya cintai ini. Sekian dulu semoga bermanfaat.”

Demikian cerita sebagaimana dimuat oleh WARKAT 2017-2018. Muhammad Damanhuri, MA adalah juga seorang Dai Mu’allafi di Pontianak Kalimantan Barat.

6 komentar:

  1. Maasyaa AllahπŸ‘πŸ‘πŸ‘

    BalasHapus
  2. subhanallah...semoga al amin terus berkembang menyebarkan islam rohmatan lil alamin...

    BalasHapus
  3. Subhanallah semoga dakwahnya disana terus di tingkatkan dan semakin banyak dayak yang mau masuk islam

    BalasHapus