Khabaruna, Bangkalan - Tak Oneng. Sekilas susunan kalimat ini sangat sederhana, mudah diingat, dan diucapkan. Namun bagi penyidik Polda Jatim, ucapan dalam bahasa Madura yang berarti 'tidak tahu' itu jadi hambatan utama polisi mengungkap kasus secara tuntas.
Misalnya, kasus pemotongan alokasi dana desa (ADD) di Kecamatan Kedungdung, Kabupaten Sampang. Meski kasus ini diungkap melalui operasi tangkap tangan (OTT) pada 5 Desember 2016, baru dua orang dijadikan tersangka setelah penyelidikan hampir dua bulan.
Mereka adalah Kun Hidayat, selaku Kepala Seksi PMD Kecamatan Kedungdung dan Ahmat Junaidi, Camat Kedungdung. Total barang bukti yang disita mencapai Rp 1,5 miliar.
Keluhan ikhwal kalimat tak oneng ini diungkapkan Kadiv Humas Polda Jatim Kombes Frans Barung Mangera, saat menemani Kapolda Jatim berkunjung di Polres Bangkalan Madura awal Februari lalu.
"Begini teman-teman, soal OTT di Sampang, kalau ada perkembangan tersangka baru pasti kami sampaikan. Tidak akan kami tutupi," kata dia.
Barung kemudian melanjutkan ucapannya. "Masalahnya tak oneng itu, saat diperiksa di Polda para tersangka bilang akan menyebut siapa saja terlibat, tapi begitu melintas Suramadu bilang tak oneng lagi, bilang tidak tahu," ujar dia.
Barung menambahkan, meski mereka mengaku tidak tahu, itu bukan hambatan bagi polisi. Dia yakin, setelah kasus itu disidangkan para tersangka akan "bernyanyi".
"Enggak mungkin mereka mau dipenjara sendiri, nanti di sidang pasti terkuak semua," tutur dia.
Kasat Reskrim Polres Bangkalan AKP Anton Widodo juga punya keluhan serupa tentang kalimat tak oneng. Dalam perkara apa pun yang dia tangani, kata Anton, entah itu kasus pembunuhan, pencurian, hingga pembegalan, polisi kesulitan mencari orang yang mau menjadi saksi.
"Ngomong tak oneng semua, padahal jelas-jelas kami tahu. Dia ada di TKP dan tahu kejadiannya, tapi saat diminta bersaksi bilangnya tak oneng," tutur dia.
Karena sulit mencari saksi itulah, dalam hampir semua laporan penanganan perkara di Bangkalan, kolom saksi banyak diisi nama-nama polisi yang ada di TKP.
Mustafa Widianto, warga Bangkalan, mengatakan keengganan warga menjadi saksi karena membuat hidup ruwet saat dipanggil untuk diperiksa.
Belum lagi menjadi saksi di Madura terkadang malah dianggap spion polisi atau SP alias informan atau mata-mata. "Kalau sudah dituduh SP, hidup enggak tenang dan rawan dibunuh orang. Jadi, tak oneng saja," ungkap dia.
Sumber: Liputan6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar