Khabaruna - Dari sekian banyak pokok bahasan keislaman, hijab atau jilbab merupakan salah satu tema yang sering diperdebatkan. Itu disebabkan eratnya hubungan jilbab dengan kehidupan sosial, budaya, bahkan ekonomi dan politik masyarakat Muslim sejak zaman awal Islam hingga sekarang.
Ada yang memandang persoalan jilbab melalui pintu skripturalisme. Bagi yang berpandangan seperti ini, apa yang tercantum di dalam Alquran dan hadis wajib hukumnya dilaksanakan.
Husein Shahab tampaknya dapat dijadikan contoh dari kelompok ini. Dalam kata pengantar bukunya Jilbab Menurut Alquran dan As-Sunnah, ia mengatakan, ''Jilbab adalah satu hukum yang tegas dan pasti yang seluruh wanita Muslim diwajibkan Allah SWT untuk mengenakannya. Melanggar atau tidak mengakuinya berarti mengingkari salah satu hukum Islam yang esensial.''
Kelompok kedua melihat jilbab melalui pintu mistikisme. Kelompok ini meletakkan jilbab dalam sebuah pengalaman keagamaan melalui ibadah-ibadah ritual. Sedapat mungkin mereka menjalani hidup sesuai dengan apa yang mereka yakini dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dikatakan oleh Dedy Mulyana dalam Islam: Antara Simbol dan Identitas, pemakaian jilbab yang dilandasi pengalaman keagamaan, tidak lain merupakan cermin dari inner states yang tulus. Jilbab di sini bukan instrumen untuk menyenangkan orang lain atau sekadar untuk memenuhi persyaratan masuk ke dalam sebuah institusi. Tetapi, perwujudan rasa nyaman yang subjektif.
Tema tentang jilbab dan pengalaman keagamaan ini, dikupas lebih mendalam oleh Murtadha Muthahhari dalam bukunya Hijab Gaya Hidup Wanita Muslimah. Menurutnya, pemakaian hijab untuk memberikan kenyamanan diri sudah dipraktikkan sejak zaman India, Persia, dan Yunani kuno. Pada masyarakat India kuno, motif pemakaian hijab karena ada kecenderungan ke arah kerahiban. Ini sebuah perjuangan melawan kesenangan dan menaklukkan ego.
Murtadha mensinyalir praktik pemakaian hijab berasal dari India. Kelompok agamawan membuat batas antara wanita dan pria dalam rangka kerahiban itu. Konsep ini, menurutnya, kemudian berkembang dalam tradisi Yahudi dan Kristen.
Adapun pemakaian hijab di Persia lebih didasari alasan sosial. Pada zaman dahulu, jaminan keamanan untuk wanita dan anak-anak sangat kurang. Will Durrant dalam History of Western Civilization menulis situasi di zaman Iran kuno. Menurutnya, hijab yang ada di Iran sekarang pada dasarnya berhubungan dengan Iran pra-Islam, bukan Iran setelah Islam.
Di masa kekuasaan orang Sassan di Iran, jika seorang raja atau pangeran mendengar kecantikan seorang wanita, ia pasti mencari dan membawanya. Gagasan mengenai hijab di Iran ketika itu terkait erat dengan kehormatan seorang wanita yang harus dijaga dari pria lain yang selalu mengintainya.
Sumber: Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar