Selasa, 07 Maret 2017

Ini Pengungkapan Polri tentang Permainan Harga Cabai



Khabaruna, Jakarta - Harga cabai rawit merah di tingkat konsumen sampai saat ini masih tinggi. Harga buah pedas tersebut berkisar antara Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu per kilogram (kg). Harga jual itu jelas tidak sesuai dengan harga acuan cabai rawit merah tingkat konsumen yang tertuang dalam Permendag Nomor 63/2016.


Padahal, berdasarkan pantauan Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan), persediaan cabai rawit merah dalam kondisi cukup. Pemerintah pun menyikapi hal tersebut dengan mengadakan penyidikan dugaan pidana penetapan harga yang tidak sesuai dengan ketentuan yang dilakukan oleh para pengepul.

Menurut Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal (Wakabareskrim) Mabes Polri Brigjen Polisi Antam Novambar, di Jakarta, Jumat (3/3), polisi akhirnya bisa mengungkap adanya permainan harga jual cabai rawit merah. Pengungkapan kasus tersebut diawali dengan informasi masyarakat dan juga koordinasi pendahuluan dengan beberapa stakeholder, yakni Bareskrim, Kementan, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha/KPPU

“Ini adalah hasil atas pekerjaan pemerintah dalam menyikapi hal yang menjadi atensi masyarakat secara luas,” kata Antam.

Dia menjelaskan, penyelidikan diawali dengan merunut wilayah-wilayah yang merupakan sentra produksi. Hasilnya, ternyata cabai yang seharusnya dikirimkan ke pasar induk, yani Pasar Induk Kramatjati sebagai parameter harga, justru masuk ke beberapa perusahaan pengguna cabai rawit merah karena harga yang didapat bisa tinggi, yaitu sebesar Rp 181 ribu per kilogram. Hal tersebut berimbas pada kenaikan harga cabai rawit merah di tingkat konsumen.

Dalam situasi normal, kata Antam, seharusnya ada 50 ton cabai rawit merah masuk ke Pasar Induk Kramatjati, tetapi faktanya berkurang jauh, yaitu berkurang sekitar 80 persen. “Cabai malah lari (masuk) ke beberapa perusahaan,” ujar Antam

Atas temuan tersebut, Polri pun menjerat kasus itu dengan pasal persaingan usaha (pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat). Pengenaan pasal itu sifatnya berkesinambungan alias sebagai entry point untuk masuk ke pasal-pasal lain selanjutnya. Penyelidikan yang telah dimulai sejak Desember tersebut ternyata cocok dengan fenomena yang ada di lapangan. Polisi juga sudah mendatangkan beberapa saksi, termasuk saksi ahli.

“Saat ini telah ditentukan dua tersangka dan nanti downline-nya akan banyak, diperkirakan ada sembilan orang, termasuk downline-downline di bawahnya,” kata Antam.

Direktur Jenderal (Dirjen) Hortikultura Kementan Spudnik Sujono menyatakan, hasil penyelidikan tersebut adalah bagian dari upaya pemerintah dalam mengatasi gejolak harga cabai. Sebab, Spudnik melanjutkan, pemerintah harus menyikapi fenomena harga cabai dari dua sisi, yakni petani yang harus tetang untung dan harga di tingkat konsumen yang harus terjangkau.

“Pemerintah menjaga tidak hanya di tingkat produksi, tapi juga harga jual,” ujarnya.

Menurut Spudnik, memang ada pengecualian mengenai harga cabai rawit merah. Di akhir Desember 2016, harga cabai rawit merah masih berkisar Rp 30 ribu sampai Rp 40 ribu  per kilogram. Namun pada 4 Januari 2017, harga cabai rawit merah langsung naik ke angka Rp 80 ribu per kilogram dan terus naik pada hari-hari selanjutnya. Harga tersebut merupakan harga di tingkat bandar. “Sepanjang pengalaman, ini cukup aneh dan ekstrem, melebihi harga daging.”

Karena itu, kata Spudnik, Kementan berterima kasih kepada Bareskrim, KPPU, dan semua pihak. “Mudah-mudahan hal ini tidak terulang lagi, memainkan harga yang terlalu tinggi, sehingga suplai ke pasar induk terganggu,” ujarnya.

Dia melanjutkan, Kementan telah memantau ke berbagai pasar induk, khususnya ke Pasar Kramatjati yang sedikit tertekan pasokannya. Berdasarkan analisis yang ada, pasokan cabai rawit merah yang seharusnya masuk ke Kramatjati, malah lari ke industri. Hal inilah yang harus disikapi. Ke depan, Kementan berharap harus ada koordinasi, sehingga hal serupa tidak terulang.

Menurut Spudnik, harga cabai di petani, kalaupun naik, sebenarnya sudah dibuat harga referensi tingkat petani, yakni harga teratas Rp 29.500 dan terendah Rp 17 ribu per kilogram. “Kalaupun harga jual karena produksi cabai terdampak hujan dan sebagainya menjadi Rp 30 ribu pun masih pantas, dan petani masih untung,” terang Spudnik.

Direktur Penindakan KPPU Gopprera Panggabean menyatakan, dari investigasi di lapangan, harga di tingkat petani sudah tinggi juga, yaitu sebesar Rp 70 ribu per kg. Di samping itu, KPPU juga menelisik jalur distribusi dari petani ke pengepul, dari pengepul ke bakul, dari bakul ke bandar, termasuk bandar di pasar induk. KPPU ingin mengetahui, di mana terdapat permainan harga dan penyebab tingginya harga cabai, termasuk faktor musim hujan berkepanjangan.

Mengenai harga di tingkat petani yang masih tinggi, kata Gopprera, KPPU juga masih menelusuri ada tidaknya kesepakatan pengepul untuk mengambil ke petani dengan harga tinggi.

Dia melanjutkan, apabila menggunakan persentase dari harga acuan yang dikeluarkan pemerintah, baik margin maupun biaya transportasi di tingkat pengepul maupun di tingkat bandar, maka harga cabai tidak mungkin setinggi seperti saat ini.

“Kalaupun harga Rp 70 ribu di tingkat petani, itu tidak akan sampai harganya ke angka Rp 150 ribu sampai Rp 160 ribu seperti sekarang ini. Jadi, kita lihat pula apakah margin terlalu besar atau apakah memang karena kesepakatan. Kalau tidak ada kesepakatan berarti mereka mengambil margin sendiri-sendiri,” kata Gopprera.

Sumber: Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar