Khabaruna, Wamena - Banyak orang sudah tahu bahwa harga-harga kebutuhan pokok di Papua amat mahal, bahkan bisa sepuluh kali lipat dibandingkan harga di Pulau Jawa. Namun menyaksikan sendiri harga-harga selangit itu di lapangan membawa dampak berbeda. Itulah yang dirasakan Tempo ketika menyusuri tiga kabupaten di Papua selama dua pekan pada pertengahan Desember 2015.
Pada 14 Desember 2015, Tempo menunggu pesawat ke Jayapura di Bandara Wamena. Di dekat tempat parkir sepeda motor, tak jauh dari pintu masuk Kepolisian Sektor Bandara Wamena, ada warung-warung sederhana tempat beberapa orang menikmati kopi, kue-kue, dan makanan. Suasana bandara sementara yang berlokasi di halaman Polsek itu memang penuh sesak dengan penumpang.
Bandara Wamena sendiri sedang direnovasi. Warung-warung ramai dikunjungi karena banyak warga menunggu keberangkatan atau menunggu kedatangan kerabat atau teman mereka menjelang Natal.
Sambil menikmati teh manis hangat dan gorengan, Tempo bercakap-cakap dengan beberapa calon penumpang pesawat yang juga menunggu keberangkatan ke Jayapura. Beberapa saat kemudian, seorang pelayan perempuan memberi tahu harga minuman dan makanan.
Segelas teh manis dan pisang goreng harganya Rp 13 ribu. Ketika Tempo membayar dengan sejumlah recehan Rp 1.000, pelayan warung dengan sopan menolak. “Bu, ambil saja uang ini (koin Rp 1.000). Tidak laku di sini,” ujarnya tersenyum.
Koin tidak laku? Seorang warga setempat kemudian menasihati soal nilai uang yang jatuh di Wamena. Perempuan pendatang itu lalu memberikan tip tentang “kurs” rupiah di Pegunungan Tengah, Papua.
"Rp 10.000 di Jakarta nilainya sama dengan Rp 1.000 di Wamena dan Pegunungan Tengah,” tuturnya tersenyum. Karena itulah warung-warung di sana jarang menyediakan uang koin Rp 500 maupun Rp 1.000.
Mahalnya harga kebutuhan hidup di Pegunungan Tengah, Papua, rata-rata mengagetkan para pendatang. Warga lokal pun tak bisa berbuat apa-apa karena kemiskinan masih dirasakan mayoritas penduduk.
Sumber: Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar